Berhenti Malas Malasan dan Mulai Aksimu Sekarang
Apa yang paling sering kita rasakan jika sedang muncul sifat
malas? Yang jelas, satu hal yang akan terasa, enak muncul di depan, enek
muncul belakangan. Mengapa demikian? Karena sebenarnya rasa malas itu
sebuah perasaan nyaman yang kalau keterusan akan jadi penyakit
membahayakan.
Coba bayangkan, sebuah kursi malas. Apa yang ada dalam benak Anda? Saya rasa, salah satunya adalah gambaran sebuah kursi panjang lipat yang bisa diduduki dengan sangat nyaman. Dan, letaknya di pinggir pantai serta ditemani payung peneduh terik mentari. Sementara, di ujung sana tebaran ombak berderai membius telinga untuk terus bersantai. Menyenangkan bukan? Itulah mengapa rasa malas justru sering jadi rasa yang memanjakan kita. Santai. Nikmat. Pokoknya serba menyenangkan.
Itulah mengapa terkadang saat akan melakukan sesuatu—ketika rasa malas muncul menggoda—kadang kita sering mempersilakan dengan tangan terbuka. Satu pekerjaan yang datang, disambut dengan omongan dalam hati, “Ah… santai dulu, toh waktunya masih nanti-nanti… santai sejenaklah… ngapain terburu-buru…”
Kalau mau jujur, pastilah kita pernah mengalami pemikiran itu. Saat kerja harus segera selesai, malah kadang rasa dalam hati menggoda dengan ungkapan serupa. Nah, apa yang biasanya kita putuskan? Akankah bergabung dengan kesenangan sejenak itu? Ataukah, menafikan ungkapan itu dan terus bekerja?
Inilah dua pilihan yang kerap kali muncul dalam benak kita. Dan, kadang malah membuat diri kita terjebak dalam sebuah percakapan tanpa akhir. Ujung-ujungnya, malas juga… menunda juga…
Secara pribadi, meski menganggap sikap malas sebagai musuh, tapi saya memilih untuk berkawan dengan kemalasan. Bagaimana bisa? Bukankah itu akan menjebak kita dalam rasa yang akan membelenggu dan mengeenakkan sehingga produktivitas kerja jadi terganggu? Tidak! Asal tahu caranya.
Nah, salah satu cara berkawan dengan kemalasan adalah dengan mencoba malas untuk bermalas-malasan. Karena sikap malas sudah sering kita akrabi dan mungkin malah sudah mendarah daging, maka segera putuskan, saat kemalasan menggoda, kita segera memilih untuk malas bermalas-malasan.
Ketika hendak menulis artikel ini, sebuah pikiran langsung menyergap. “Ngapain nulis sekarang, toh yang baca juga siapa? Apa juga nanti manfaatnya?” Ungkapan itu langsung menyambut sehingga diri sendiri jadi tergoda untuk menghentikan ketukan jari di atas tuts komputer. Tapi, segera saya ingat, bukankah saya sudah biasa berkawan dengan sikap malas?
Maka, saya pun memutuskan untuk malas menanggapi ucapan dalam hati itu. Saya pun memutuskan malas membiarkan godaan itu mampir kepada saya. Dan, inilah hasilnya. Kemalasan saya menanggapi godaan untuk malas sejenak untuk tidak menulis, membuat saya justru segera mampu bekerja maksimal untuk menulis artikel pendek soal kemalasan ini.
Sungguh, ini bukan rekayasa. Saat ini, rasa malas itu terus menggoda saya untuk kembali berhenti menulis. Rasa malas itu terus menciptakan imaji dalam diri bahwa jika saya diam sejenak, saya bisa lebih maksimal kerjanya. Sungguh godaan yang sangat nikmat. Tapi, saya memilih untuk malas menanggapi itu semua. Saya memilih untuk malas bermalas-malasan. Inilah bukti, bahwa rasa malas itu tak perlu dilawan. Tapi, justru harus diakrabi. Rasa malas itu harus disikapi dengan membalasnya dengan kemalasan juga. Malas yang berlipat justru akan membuat diri ini tersadar, bahwa malas hanya akan membuat diri tak mau bekerja. Nah, sebelum malas membelenggu, maka kita harus mulai malas bermalas-malasan terlebih dahulu.
Saat sikap malas menggoda, godalah kembali kemalasan dengan lebih malas. Istilah saya, negatif kali negatif bukankah justru menghasilkan positif? Kemalasan dibalas dengan kemalasan, justru akan menghasilkan produktivitas yang meningkat. Nah!
Mungkin, Anda bisa saja bingung dengan pernyataan ini. Tapi, izinkan saya memberi satu contoh lagi. Mudah-mudahan, ini akan membuat sikap malas itu benar-benar bisa jadi “kawan” kita. Bayangkan. Saat bekerja, ketika ingin menulis artikel misalnya, rasa malas menggoda untuk berhenti sejenak. Tapi, saat rasa malas itu muncul, segera timpali dengan sikap malas. “Ah… malas aku menunda… Malas aku berhenti.. Malas aku bermalas-malasan sejenak…” Cobalah. Semoga ini bisa membantu.
Coba bayangkan, sebuah kursi malas. Apa yang ada dalam benak Anda? Saya rasa, salah satunya adalah gambaran sebuah kursi panjang lipat yang bisa diduduki dengan sangat nyaman. Dan, letaknya di pinggir pantai serta ditemani payung peneduh terik mentari. Sementara, di ujung sana tebaran ombak berderai membius telinga untuk terus bersantai. Menyenangkan bukan? Itulah mengapa rasa malas justru sering jadi rasa yang memanjakan kita. Santai. Nikmat. Pokoknya serba menyenangkan.
Itulah mengapa terkadang saat akan melakukan sesuatu—ketika rasa malas muncul menggoda—kadang kita sering mempersilakan dengan tangan terbuka. Satu pekerjaan yang datang, disambut dengan omongan dalam hati, “Ah… santai dulu, toh waktunya masih nanti-nanti… santai sejenaklah… ngapain terburu-buru…”
Kalau mau jujur, pastilah kita pernah mengalami pemikiran itu. Saat kerja harus segera selesai, malah kadang rasa dalam hati menggoda dengan ungkapan serupa. Nah, apa yang biasanya kita putuskan? Akankah bergabung dengan kesenangan sejenak itu? Ataukah, menafikan ungkapan itu dan terus bekerja?
Inilah dua pilihan yang kerap kali muncul dalam benak kita. Dan, kadang malah membuat diri kita terjebak dalam sebuah percakapan tanpa akhir. Ujung-ujungnya, malas juga… menunda juga…
Secara pribadi, meski menganggap sikap malas sebagai musuh, tapi saya memilih untuk berkawan dengan kemalasan. Bagaimana bisa? Bukankah itu akan menjebak kita dalam rasa yang akan membelenggu dan mengeenakkan sehingga produktivitas kerja jadi terganggu? Tidak! Asal tahu caranya.
Nah, salah satu cara berkawan dengan kemalasan adalah dengan mencoba malas untuk bermalas-malasan. Karena sikap malas sudah sering kita akrabi dan mungkin malah sudah mendarah daging, maka segera putuskan, saat kemalasan menggoda, kita segera memilih untuk malas bermalas-malasan.
Ketika hendak menulis artikel ini, sebuah pikiran langsung menyergap. “Ngapain nulis sekarang, toh yang baca juga siapa? Apa juga nanti manfaatnya?” Ungkapan itu langsung menyambut sehingga diri sendiri jadi tergoda untuk menghentikan ketukan jari di atas tuts komputer. Tapi, segera saya ingat, bukankah saya sudah biasa berkawan dengan sikap malas?
Maka, saya pun memutuskan untuk malas menanggapi ucapan dalam hati itu. Saya pun memutuskan malas membiarkan godaan itu mampir kepada saya. Dan, inilah hasilnya. Kemalasan saya menanggapi godaan untuk malas sejenak untuk tidak menulis, membuat saya justru segera mampu bekerja maksimal untuk menulis artikel pendek soal kemalasan ini.
Sungguh, ini bukan rekayasa. Saat ini, rasa malas itu terus menggoda saya untuk kembali berhenti menulis. Rasa malas itu terus menciptakan imaji dalam diri bahwa jika saya diam sejenak, saya bisa lebih maksimal kerjanya. Sungguh godaan yang sangat nikmat. Tapi, saya memilih untuk malas menanggapi itu semua. Saya memilih untuk malas bermalas-malasan. Inilah bukti, bahwa rasa malas itu tak perlu dilawan. Tapi, justru harus diakrabi. Rasa malas itu harus disikapi dengan membalasnya dengan kemalasan juga. Malas yang berlipat justru akan membuat diri ini tersadar, bahwa malas hanya akan membuat diri tak mau bekerja. Nah, sebelum malas membelenggu, maka kita harus mulai malas bermalas-malasan terlebih dahulu.
Saat sikap malas menggoda, godalah kembali kemalasan dengan lebih malas. Istilah saya, negatif kali negatif bukankah justru menghasilkan positif? Kemalasan dibalas dengan kemalasan, justru akan menghasilkan produktivitas yang meningkat. Nah!
Mungkin, Anda bisa saja bingung dengan pernyataan ini. Tapi, izinkan saya memberi satu contoh lagi. Mudah-mudahan, ini akan membuat sikap malas itu benar-benar bisa jadi “kawan” kita. Bayangkan. Saat bekerja, ketika ingin menulis artikel misalnya, rasa malas menggoda untuk berhenti sejenak. Tapi, saat rasa malas itu muncul, segera timpali dengan sikap malas. “Ah… malas aku menunda… Malas aku berhenti.. Malas aku bermalas-malasan sejenak…” Cobalah. Semoga ini bisa membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar