Kamis, 12 November 2015
contoh cerpen berjudul gagal jadian
Gagal Jadian
Suasana sekolah kini berangsur-angsur sepi. Siswa yang merasa bosan di sekolah, mulai mengambil motor mereka dan bergegas pulang menuju rumah mereka. Namun, sesosok laki-laki tampak dari kejauhan. Ia terlihat berdiri di atas atap musala. Dia hanya duduk di sana. Menatap langit dengan pandangan kuyu.
“I’ve become so numb I can’t feel you there. Become so tired so much more aware. I’m becoming this all I want to do. Is be more like me and be less like you,”
Laki-laki itu bersenandung dengan suara lemas namun tidak parau. Ia masih saja menerawang langit biru yang perlahan tertutup awan putih yang menggumpal. Ia membuka tasnya. Kemudian, ia menjuhut sebuah buku kecil. Ia juga mengambil sebuah pulpen. Lalu ia menulis sesuatu.
“Inikah rasanya sebuah kerinduan. Namun yang dirindu tak merasakan. Entah apa yang aku lakukan di atap musala saat ini. Yang jelas aku sangat ingin berada di sini sendiri.” Laki-laki itu menutup bukunya lalu memasukkan ke dalam tasnya. Kemudia ia melirik jam tangannya. Alisnya terangkat. Ia bergegas turun dari atap musala itu. Baru saja ia turun, ia langsung ditanya oleh temannya yang kebetulan lewat depan musala.
“Ngapain lo dari atap musala? Mau terbang ala batman?” Tanya temannya itu usil.
Laki-laki itu hanya tertawa dan tersenyum. “Nggak. Lagi cari angin.”
“Oh..” Kata nya singkat, “Dra gue duluan ya..” Teman laki-laki itu berlalu.
Laki-laki itu kemudian berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Ia berniat pulang pada saat ini.
“Hendra!!” Panggil seseorang. Ia menoleh. Didapatinya seorang cewek.
“Dra.. gue nebeng lo ya. Gue nggak dijemput nih kayaknya..” Kata cewek itu.
“Lo bawa helm kan?” Tanya Hendra pada cewek itu.
“Bawa dong!” Kata cewek itu bangga. Entah kenapa dia bangga jika ia membawa helm.
“Naik..” Perintah Hendra. Tanpa di perintah dua kali, cewek itu naik ke motor. Dan mereka pun tancap gas meninggalkan sekolah itu.
“Fan.. udah sampe depan rumah lo nih..” Kata Hendra. Namun masih tak ada jawaban. “Fan!” Hendra mulai panik. Ia mengira jika Fanny tadi terjatuh di jalan ketika ia membonceng dia. Ia menoleh ke belakang. Dan ternyata Fanny lagi asyik merem di punggung Hendra.
“Fan..” Kata Hendra sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya agar Fanny sadar dari ketermeremannya.
“Hah..” Fanny tersadar. Ia celingak-celinguk tak jelas. Kemudian menguap sejenak.
“Dah sampe depan rumah lo nih..” Kata Hendra.
“Emang ini rumah gue?” Tanya Fanny. Hendra tercengang. Nih anak mabok apa kesurupan sih? Pikir Hendra.
“Hehehe… gue bercanda kok.” Fanny pun turun dari motor. Lalu mengucek sakunya. Mencoba mencari sesuatu. Hendra menaikan alisnya.
“Nih..” Fanny memberikan uang dua puluh ribuan.
“Apaan ini?”
“Bayaran lo abis nganter gue..” Jawab Fanny.
“Lo kira gue tukang ojek? Ah brengs*k lo..” Kata Hendra sebal sekaligus bête. Ia langsung menstarter motornya. Bergegas pergi dari Fanny.
“Cie.cie.. ngambek cie…” Goda Fanny.
“Bodo..”
“Yah… gue kan cuman bercanda..” Kata Fanny yang nadanya seperti menyesal.
“Bodo..” Hendra pun berlalu begitu saja. Fanny hanya melihat kepergian Hendra dengan tatapan menyesal. Tapi kemudian ia menggidikkan bahu. Ia menduga jika Hendra sedang mengalami PMS. Yah mungkin Hendra sedang mengalami PMS. Fanny yakin dengan itu.
Sampai di rumah, Hendra langsung mandi. Kemudian naik ke kamarnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasurnya. Tak ada niatan darinya untuk membuka buku secuil pun. Ia memilih untuk mendengarkan Mp3. Dan ia memutar sebuah lagu.
“Give me reason/to prove me wrong/to wash this memory clean. Let the floods cross the distance in your eyes. Give me reason/to fill this hole / connect the space between. Let it be enough to reach the truth that lies. Across this new divide”
Hendra pun larut dalam lagu tersebut. Ia tenggelam dengan Mp3 playernya. Hingga gedoran pintu dari Kakaknya membuat kesadaran kembali.
“Hen lo gak makan apa? Ayok turun..” Kata Chandra yang merupakan Kakak pertama Hendra.
“Ah ganggu aja sih lo. Iye.. iye nanti gue turun..” Protes Hendra.
“gak pake nanti-nanti. Lo kudu turun.. atau lo gue seret..” Ancam Chandra.
“Seret aja kalau berani..” Hendra menjulurkan lidah. Chandra langsung menarik baju Hendra.
“Lo pikir gue bercanda..” Kata Chandra di depan muka Hendra. Dan Chandra pun langsung menyeret Hendra untuk turun ke bawah.
“Sadis amat lo..” Pekik Hendra. Namun Chandra tak peduli. Dan ia terus menyeret Hendra sampai ke depan meja makan.
“Nih mah orangnya. Udah aku bawa ke sini..” Kata Chandra.
“Kamu apain itu Adik kamu? Kok belangsak gitu?” Tanya Mama mereka.
“Aku seret. Salah sendiri disuruh ke sini baik-baik nggak mau..” Kata Chandra.
“Bohong!” Pekik Hendra. “Aku belum ngomong udah diseret aja..” Protes Chandra.
“Eh lo tadi bilang seret aja kalau berani. Ya gue seret..” Ketus Chandra.
“Tapi kan gue cuman bercanda ..” Sengit Hendra.
“Gue lagi gak mau bercanda..” Chandra makin melotot.
“Diam kalian berdua….” Jerit Kaliandra.
Hendra dan Chandra langsung menoleh ke arah adiknya itu dengan tatapan melongo.
“Berisik. kalau nggak mau makan keluar sana..” Kaliandra menatap sinis kedua Kakak laki-lakinya itu. Dan benar saja, kedua Kakaknya langsung diam. Dan acara makan malam bersama dalam keluarga mereka akhirnya dimulai. Dan penulis tidak diajak turut serta. Penulis langsung nangis guling-guling.
—
Hendra masih duduk sendirian di kelas. Hingga Fanny pun menghampirinya karena merasa kasihan Hendra duduk sendirian.
“Ciee lagi sendirian nih ye..” Goda Fanny yang langsung duduk di sebelahnya.
“Berisik!” Ketus Hendra.
“Wah cuek nih.. Hahaha. Cerita sama gue kenapa?”
“Gue mau nembak Riza..”
“Oh.. lah terus kenapa lo galau gitu? kalau mau nembak ya langsung dong,”
“Emang gue nanti diterima?” Tanya Hendra pesimis.
“Yah… lo pesimis gitu sih. Dengerin gue ya, lo nembak cewek jangan takut untuk gak diterima. kalau lo gitu, jadian hanya mimpi. Jadi kalau lo mau nembak si Riza ya tembak aja langsung. Biar surprise gitu. Kan jadi so sweet terus si Riza kena diabetes..”
“Kampret lo!”
“Hahaha ..” Fanny tertawa.
Sepulang sekolah, Hendra telah berdiri di depan kelas Riza. Riza yang melihat Hendra langsung bereaksi aneh. Dia memicingkan mata ketika melihat Hendra. Tanpa basa-basi, Hendra langsung menarik tangan Riza.
“Ini kita mau kemana?” Tanya Riza bingung.
“Udah ikut aku. Ada yang mau aku omongin..” Kata Hendra dengan mantap.
Hendra membawa Riza ke suatu tempat. Tempat yang cukup sepi dari penampakan siswa lain. Di sana juga tersedia tempat duduk. Namun sebenarnya itu telah disiapkan oleh Fanny atas permintaan Hendra. Dan mereka berdua duduk di sana. Hendra menatap Riza. Riza juga menatap Hendra. Mereka saling bertatapan. Dan itu membuat pohon yang ada di sana cemburu. Karena tak ada yang melihatnya.
“Kamu ngapain bawa aku ke sini? Di sini anker tahu..”
“Riza, aku pengen ngomong sama kamu.” Hendra menggengam tangan Riza. Pohon yang ada di belakang mereka cemburu. Karena tak ada yang menggenggam ranting dahannya.
“Kamu kenapa sih?” Riza mulai menundukkan kepalanya.
“Aku kan udah lama deket sama kamu. Jadi aku mau mengatakan ini sekarang. Aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Hendra makin mempererat genggaman tangannya.
“Maaf..” Riza melepaskan genggaaman tangannya. Pembaca mulai menganggap jika Hendra ditolak.
“Kenapa? Apa ini salah?” Tanya Hendra.
“Bukan. Bukan karena ini salah..” Riza menatap Hendra.
“Jadi kenapa?” Kata Hendra agak kesal.
“Aku mau mengaku.”
“Mengaku? Mengaku apa?” Hendra mulai frustasi.
“Aku sebenernya seorang cowok..” Kata Riza lirih. Hendra tercekat. Alisnya naik turun seperti gelombang tsunami. Ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan Riza.
“Kamu ngomong apa sih?”
“Aku sebenernya cowok yang ganti kelamin..” Hendra makin tercengang. “Jadi aku nggak bisa nerima kamu. Aku bukan maho. Aku masih normal..” Riza mulai bangkit dari tempat duduknya. Dan pergi meninggalkan Hendra sendiri di kursi tersebut. Dan pohon yang ada di belakangnya tertawa puas karena itu.
“Gimana tadi. Berhasil?” Tanya Fanny yang datang menemui Hendra
“Apanya yang berhasil? Dia cowok men..”
“Hah yakin lo? Cius?”
“Gue masih normal. Dan dia juga. Jadi kami memutuskan untuk menyudahi hubungan terlarang kami..” Kata Hendra penuh sesal.
“Nanti backstreet..”
“Bodo ah..” Hendra meninggalkan Fanny sendirian di sana. Pohon di sana juga tertawa. Fanny pun langsung berlari menuju Hendra. Dan cerita ini pun berakhir dengan keganjilan yang absurd
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar